Kamis, 20 April 2017

Kartini dan Rekonstruksi Budaya Literasi di Sekolah


Pada tanggal 21 April setiap tahunnya bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Dijelaskan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Dari pengalaman penulis selama mengajar di sekolah perbatasan dan bertanya kepada para peserta didik mengenai sosok kartini, mereka hanya mengetahui kartini adalah tokoh emansipasi wanita dan bukunya ”Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang selalu diperingati dengan kontes kebaya. Ternyata seseorang yang bernama kartini bukan hanya sebagai tokoh emansipasi wanita, tetapi lebih dari itu.
Kartini terlahir dari keluarga bangsawan yang masih memegang adat istiadat. Kartini lahir dan hidup dengan tradisi dan sistem yang menempatkan perempuan dalam kedudukan rendah. Salah satu adat lokal yang menjadi ujian bagi Kartini kala itu adalah perempuan tidak diperbolehkan atau dilarang mengenyam pendidikan lebih dari laki-laki. Bisa dibayangkan, bila Kartini, yang anak seorang bangwasan saja hanya boleh mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar.
Kartini tidak pasrah dengan keadaan. Ia terus bergerak, mencari cara lain untuk tetap belajar, menambah wawasan dan mengikuti perkembangan dunia luar. Lalu, Kartini memilih berkawan dengan berbagai bacaan: buku-buku pelajaran, buku tentang ilmu pengetahuan dan surat kabar. Hari demi hari dilewati Kartini dengan membaca buku, sesekali berdiskusi dengan ayahnya jika ada kesulitan dalam memahami apa yang dibacanya. Melalui bacaan-bacaan yang dibacanya, pemikiran Kartini menjadi semakin terbuka. Ia pun menuliskan ide-ide dan pemikiran-pemikirannya melalui surat-suratnya yang dikirimkan kepada sahabatnya yang berada di Negeri Kincir Angin, Belanda. Salah satunya kepada Mr.J.H Abendanon. Bagi Kartini, membaca dan menulis adalah ‘alat’ dan ‘senjata’ baginya dalam menampung pesan, juga dalam menyampaikan pesan atau buah-buah pikiran (Wikipedia).
Didalam pengantar buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer bahwa, Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi. Perjuangan kartini menentang feodalisme walaupun  ia sendiri dari kalangan bangsawan, ia berjiwa demokratis yang memiliki pandangan miris dan prihatin terhadap masyarakatnya pada waktu itu.

Rekonstruksi Budaya Membaca dan menulis di sekolah

Melihat dijaman sekarang yang sudah serba instan, semua informasi bisa diakses hanya dari genggaman. Bayangkan pada jaman 90-an kita harus membuka buku seperti buku Pintar, Atlas, dan lain sebagainya supaya tahu informasi yang kita inginkan. Di jaman Post-Modern seperti sekarang seyogyanya penggunaan internet menjadi kebutuhan setiap orang, tidak perlu lagi membeli buku saku dan buku pengetahuan umum, lantas bagaimana penggunaannya dikalangan pelajar?
Iinformasi yang berlimpah sesuai keinginan dan kemudahan pengoperasian membuat semakin banyak pelajar menggunakannya. Mulai dari sekedar mencari definisi singkat hingga mengunduh. Namun, keberadaan internet yang mendukung proses pembelajaran juga membawa dampak negatif berupa kecenderungan menurunnya budaya literasi di kalangan pelajar apabila salah dalam penggunaannya. Dalam hal ini literasi memiliki konteks yang sangat luas dan merupakan kebiasaan berpikir yang terbentuk dari pemahaman terhadap ragam informasi, disertai kemampuan mengembangkan pengetahuan, berpikir kritis dan bertindak sesuai pemahaman terhadap situasi.
Keberadaan internet seyogyanya dapat meningkatkan budaya literasi. Internet dapat diibaratkan sebagai perpustakaan raksasa yang menyimpan jutaan informasi dan bahan bacaan. Akan tetapi, pola penggunaan yang kurang bijak juga dapat menurunkan semangat literasi, terutama pada generasi muda. Membaca merupakan investasi yang luar biasa untuk mencapai luasnya wawasan. Dalam hal ini penerapan budaya baca telah diterapkan oleh negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. Berkaca dengan negara yang telah maju, kekuatan pendorong utama kesejahteraan rakyat yaitu dari filosofi-filosofi, teladan, serta informasi yang didapat.
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya saat ini adalah membangun kembali atau merekonstruksi kembali kegiatan membaca dan menulis dalam istilah praktisnya di lingkungan sekolah, Para pendiri bangsa ini (founding fathers) adalah orang-orang yang memuliakan buku dan gemar membaca. Sebutlah misalnya bung Hatta yang sepulang dari studinya di Roterdam Belanda tahun 1932 mengepaki 17 buah koper dan hanya satu yang berisi pakaian, selebihnya adalah buku-buku. Tidaklah kita dapati makna lainnya kecuali ia seorang yang sangat gila membaca. Buku-buku jugalah yang menemaninya ketika berada di penjara Boven Digoel, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” ujarnya. Dan di hari pernikahannya bukulah yang ia berikan pada Rahmi Rachim sebagai maharnya, buku itu berjudul Alam Pikiran Yunani.
Sementara bung Karno sejak usia 16 tahun ia juga telah gemar membaca karya-karya besar dunia, seperti Declaration of independence yang disusun oleh Jeffereson. Dan melalui buku juga ia mengenal ide-ide Lincon, Paul Revere dan George Washington. Bahkan anak dari Residen Bengkulu di masa penjajahan, temannya terkesima melihat buku-buku yang dibawa bung Karno ketika ia diasing ke sana. “Orang muda, saya harus belajar giat sekali. Insya Allah saya kan jadi presiden negeri ini,” demikian jawabnya ketika ditanya kenapa berlama-lama duduk dan hanya ditemani buku-buku, bahkan Tan Malaka pernah mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Madilog "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi" begitulah para tokoh-tokoh besar, sebuah gagasan tidak lahir dari tempat tidur kata Che Guevara.
Maka dari itu membaca juga suatu proses pertemuan intelektual yang berlangsung dengan mereka yang tinggal jauh di sana atau bahkan dengan mereka yang telah tiada. Kita bisa jadi tidak pernah bertatap muka dengan Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli, Buya Hamka, namun karena membaca Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tetralogi Pulau Buru, dan karya-karya penulis lainnya kita bisa merasakan gejolak zaman kala itu, pola pikir dan adat istiadat yang berlaku di masa lampau. Sehingga bias meminimalisir plagiarisme yang berbahaya jika mereka melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Kembali ke Kartini, literasi mampu  membedakan Kartini dengan perempuan-perempuan pada zamannya. Seperti penjelasan diatas pentingnya membangun kembali budaya membaca dan menulis mampu membangun peradaban, Kartini bukan hanya pelajaran bagi perempuan namun semua yang pernah membaca perjuangannya. Sekolah dan lingkungannya yang memiliki kodrat membangun peradaban dengan melahirkan generasi penerus bangsa. Begitu halnya tugas mulia seorang guru yang harus mempersiapkan anak didikya untuk menjalani kehidupan.

Selamat Hari Kartini 21 April 2017
Penulis : APRIADI, S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar