Selasa, 13 Oktober 2015
cerita rakyat Kayong : Pangeran Sidang Penape
*Jejak
Pangeran Sakti Mandraguna
Kisah
Pangeran Sidang Penape begitu melegenda di masyarakat Sukadana, Kayong Utara.
Tetapi, cerita rakyat yang cukup populer ini hanya banyak disampaikan dari
mulut ke mulut.
Beberapa
penulis mencoba menelusuri jejak-jejak dari cerita rakyat yang unik ini. Di
antaranya, Drs H Gusti M Mulia yang menceritakan kisah Pangeran Sidang Penape
pada 2007 dalam bukunya "Sekilas Menapak Langkah Kerajaan
Tanjungpura".
Penelurusan
penulis kelahiran Teluk Melano 5 Juni 1938 ini terhadap kisah Pangeran Sidang
Penape dimulai dari Batu Sebugal, batu hitam yang tengahnya agak cekung seperti
bekas tempat duduk.
Untuk
sampai ke Batu Sebugal di Matan Kecamatan Sukadana sekarang, dapat mengikuti
arus dari Kampung Sepuncak, lalu tiba di muara Sungai Matan, airnya warna hitam
tetapi tetap jernih.
Di
sepanjang pinggir sungai Matan masih banyak terlihat peninggalan kerajaan
Matan, barupa bekas tiang dari kayu belian (besi) dan nibung, pohon yang
batangnya penuh duri.
Setelah
masuk lebih jauh, tibalah ke dataran yang agak tinggi, tidak jauh dari tempat
tersebut terdapat Batu Sebugal yang diyakini sebagai tembunik keturunan atau
anak Pangeran Sidang Penape.
Masyarakat
meyakini tembunik tersebut membatu karena pengaruh kesaktian Pangeran Sidang
Penape yang tiada tandingan dan menggetarkan seluruh manusia di jagad raya ini.
Pangeran
Sidang Penape merupakan kakak dari Raja Sukadana, tetapi nama dari raja
tersebut tidak diketahui secara pasti, karena masyarakat hanya mengenalnya
sebagai adik dari Pangeran yang sakti mandraguna.
Kesaktian
Pangeran Sidang Penape membuatnya mengasingkan diri, menjauh dari orang banyak
dan bermukim di Gunung Lalang, sekarang masuk Kelurahan Rantau Panjang.
*Aturan
Gila Seorang Pangeran
Kendati
sang adik yang menjadi Raja Sukadana, aturan dan kebiasaan Pangeran Sidang
Penape yang menjadi undang-undangnya. Mau tidak mau, aturan tersebut harus
dipatuhi.
Dari
sekian banyak aturan dan kebiasaan Pangeran Sidang Penape, hanya satu aturan
yang membuat hati Raja Sukadana gundah gulana dan rakyatnya menderita, tetapi
takut membantah karena kesaktian pangerannya tidak tertandingi.
Aturan
tersebut paling gila dari segala aturan (mungkin paling gila di dunia) karena
setiap orang yang baru menikah dilarang bersama istrinya sebelum diserahkan dan
digauli Pangeran Sidang Penape. Aturan itu ditentang, tetapi tidak seorang pun
yang bisa berbuat banyak.
Raja
Sukadana yang hanya menahan perih, karena penderitaan tersebut dialami
rakyatnya. Sementara untuk menentang atau melawan, adiknya ini tidak memiliki
kemampuan melawan kakaknya yang sakti mandraguna.
Nasihat
dan bujuk rayu terus menerus dilakukan Raja Sukadana untuk menyadarkan
kakaknya, Pangeran Sidang Penape. Karena adat yang diberlakukan itu tidak dibenarkan
dan seluruh rakyat Sukadana menolaknya.
Mendapat
nasihat dari Raja Sukadana yang merupakan adiknya sendiri, justru Pangeran
Sidang Penape menjadi berang. "Itu adalah aturan dan adat bagi setiap
orang di daerah ini, siapa yang tidak senang silakan keluar saja," bentak
Pangeran Sidang Penape.
Karena
aturan tersebut tidak sanggup dihilangkan melalui nasihat dan bujuk rayu, hari
demi hari jumlah penduduk Sukadana semakin berkurang. Sedikit demi sedikit
penduduknya pindah ke daerah lain yang tidak memiliki aturan seperti yang
diterapkan Pangeran Sidang Penape.
*Skenario
Membunuh Pangeran
Nasihat
tidak dipakai, bujuk rayu tidak diindahkan. Akhirnya Raja Sukadana berunding
dengan seluruh menteri dan hulubalang untuk mencari jalan keluar dari
permasalahan yang ditimbulkan Pangeran Sidang Penape.
Perundingan
tersebut menghasilkan keputusan yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Karena
merupakan satu-satunya cara agar rakyat Sukadana tentram, tanpa harus
menyerahkan istrinya untuk digauli Pangeran Sidang Penape.
Keputusan
tersebut berupa penyingkiran Pangeran Sidang Penape dari Sukadana atau
menghabisi nyawanya. Dengan harapan tidak ada lagi yang meminta istri setiap
orang yang baru menikah, hanya untuk memuaskan nafsunya.
Raja
Sukadana pun mengumpulkan seluruh panglima hulubalang pilih tanding, gagah
perkasa, bernyali tinggi dan memiliki berbagai kemampuan. Di antaranya tahan
banting dan pukul, kebal senjata tajam, tumpul dan berat.
Semua
panglima hulubalang yang telah dipilih dari yang terhebat, diperintahkan untuk
menyerang Pangeran Sidang Penape secara bersamaan, baik dari depan dan
belakang, maupun kiri dan kanan.
Pertempuran
dahsyat pun tidak dapat dihindari antara Pangeran Sidang Penape (seorang diri
dengan tangan kosong) melawan puluhan panglima hulubang pilihan Raja Sukadana
yang telah dilengkapi berbagai jenis pusaka.
Di
luar dugaan, satu persatu dari puluhan panglima hulubalng mundur dan ada pula
yang tidak sanggup lagi bangun dari arena pertempuran melawan Pangeran Sidang
Penape.
Sedangkan
Pangeran Sidang Penape tidak cidera sedikitpun, hanya keletihan luar biasa yang
dirasakannya melawan puluhan panglima hulubalang terpilih itu.
Saking
letihnya, saudara tua Raja Sukadana ini merebahkan tubuhnya di atas batu besar
di atas gunung, kawasan tempat tinggalnya yang menjadi arena pertempuran.
*Dalam
Keadaan Tidur pun Tak Bisa Dibunuh
Ketika
Pangeran Sidang Penape tertidur pulas, dimanfaatkan panglima-panglima
hulubalang untuk kembali menyerang abang Raja-nya tersebut. Karena itu
satu-satu kesempatan (menurut mereka) bisa menghabisi pangeran
"bejat" itu.
Panglima-panglima
itupun menghujamkan keris, golok, tombak dan senjata pusaka lainnya
berkali-kali ke tubuh Pangeran Sidang Penape yang terlentang di atas batu.
Menakjubkan, jangankan luka, bangun pun tidak dari tidurnya.
Bahkan
dengkuran Pangeran Sidang Penape semakin keras dan sesekali mengibas-ngibaskan
tangannya, seolah menampar nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Padahal puluhan
jenis senjata dihujamkan beratus-ratus kali ke tubuhnya.
Jangankan
terluka akibat senjata pusaka yang dihujamkan puluhan panglima hulubalang,
sedikitpun kulit Pangeran Sidang Penape tidak tergores. Justru senjata para
panglima hulubalang yang bengkok-bengkok dan patah.
Akhirnya,
para panglima hulubalang itu merasa letih dan putus asa karena senjata
pusakanya tidak mampu digunakan lagi untuk membunuh Pangeran Sidang Penape yang
tidak bangun dari tidurnya itu.
Di
tengah keheranan dan keputusasaannya, para pangling hulubalng kerajaan Sukadana
itu pun kembali dan melapor ke rajanya. Dengan berat hati, mereka menyampaikan
kalau titah baginda raja tidak dapat dilaksanakan.
Peristiwa
mencengangkan ini membuat nama Pangeran Sidang Penape semakin tenar seantero
negeri dan meluas ke kerajaan-kerajaan lainnya. Kesaktiannya yang luar biasa
itu menjadi perbincangan di mana-mana.
Tetapi,
Raja Sukadana beserta rakyatnya semakin gelisah karena peristiwa penyerangan
yang dilakukan para panglima hulubalang tidak membuahkan hasil. Semuanya merasa
khawatir, kalau peristiwa penyerangan itu akan membuat Pangeran Sidang Penape
menerapkan aturan yang lebih bejat lagi.
*Pangeran
Sidang Penape Tak Bergeming
Usai
mengalami percobaan pembunuhan, Pangeran Sidang Penape bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri; siapakah yang memerintahkan panglima-panglima hulubalang, para
pendekar yang mengeroyoknya itu.
Sepengetahuan
Pangeran Sidang Penape, panglima hulubalang yang menyerangnya itu hanya patuh
pada Raja Sukadana, adik kandungnya. Tetapi, dugaannya itu serasa tidak
mungkin, karena adiknya begitu bijaksana dan baik kepadanya.
Untuk
mengetahui kepastian siapa dalang yang berencana membunuhnya, Pangeran Sidang
Penape pun menemui sang adik di istana kerajaan Sukadana.
Kedatangan
pangeran sakti madraguna ini membuat kecut seluruh penghuni istana, termasuk
Raja Sukadana. Khawatir Pangeran Sidang Penape mengamuk dan membunuh siapa saja
yang ditemui.
Tetapi,
dugaan Raja Sukadana bersama penghuni istana lainnya tidak tepat. Pasalnya,
Pangeran Sidang Penape datang ke istana secara baik-baik tanpa bermaksud
mengamuk apalagi membunuh. Karena kedatangannya hanya untuk menanyakan dalang
percobaan pembunuhan terhadap dirinya.
Ketika
Raja Sukadana telah di hadapannya, Pangeran Sidang Penape pun menyampaikan
maksudnya. "Siapakah yang menyuruh panglima hulubalang itu mengeroyokku
dan mencoba membunuhku," tanyanya.
Sontak,
dada Raja Sukadana bergetar, karena takut akan kemurkaan Pangeran Sidang
Penape, kalau mengetahui dalang percobaan pembunuhan yang menghebohkan seantero
negeri itu adalah dirinya.
Kendati
perasaan takut menyelimuti hati, tidak menjadikan Raja Sukadana seorang
pendusta. "Akulah Bang," katanya menjawab pertanyaan Pangeran Sidang
Penape.
Mendengar
jawaban Raja Sukadana itu, Pangeran Sidang Penape keheranan dan kembali
bertanya. "Mengapa kau ingin membunuhku, Abangmu sendiri," katanya.
Raja
Sukadana pun menceritakan latar belakang rencana pembunuhan terhadap Pangeran
Sidang Penape, yakni tidak sanggup lagi melihat dan mendengar keluhan rakyatnya
terhadap aturan yang diberlakukan; menyerahkan istri yang baru dinikahi kepada
pangeran.
"Kalaulah
Abang mau memperistri banyak gadis, aku bisa mencarikannya, yang tercantik
sekalipun. Asalkan tidak memberlakukan aturan yang menyusahkan rakyatku
itu," kata Raja Sukadana.
Janji
adiknya itu tidak membuat Pangeran Sidang Penape luluh. "O..., tapi bukan
itu yang aku inginkan. Aku tidak perlu istri yang banyak dan cantik-cantik,
tapi aku ingin adat aturan ini berlaku sepanjang hidupku," tegasnya.
Usai
berkata demikian, Pangeran Sidang Penape langsung kembali ke gunung. Sementara
adiknya, Raja Sukadana kembali mengeluhkan tingkah abangnya yang menyebabkan
jumlah penduduk Sukadana semakin berkurang setiap hari.
*Bunuh
Pangeran dengan Cara "Halus"
Raja
Sukadana pusing tujuh keliling menghadapi Pangeran Sidang Penape, karena
bujukan dan kekerasan tidak berguna lagi. Kebiasaan "Mencicipi" istri
orang lain terus dilakukan saudaranya. Terpaksa, cara halus digunakan untuk
melenyapkan pangeran yang menyengsarakan para suami itu.
Untuk
melakukan cara halus tersebut, Raja Sukadana memanfaatkan kemampuan dua
sahabatnya, Alap Alap dan Olop Olop. Keduanya ditugaskan menghabisi nyawa
Pangeran Sidang Penape secara diam-diam.
Dipilihlah
tengah malam Jumat untuk menghabisi nyawa Pangeran Sidang Penape. Bukannya
dengan bertarung di tempat terbuka seperti yang pernah dilakukan
panglima-panglima hulubalang sebelumnya, Alap Alap dan Olop Olop akan menyelinap
untuk melaksanakan tugasnya, membunuh saudara tua Raja Sukadana itu.
Ketika
penduduk sedang lelap dibuai mimpi di malam yang gelap dan sepi, Alap Alap
menjelma menjadi seekor kunang-kunang. Selanjutnya terbang menembus kegelapan
malam yang dihiasi suara hewan dan desiran angin.
Alap
Alap yang telah menjadi kunang-kunang itu terbang menuju peraduan Pangeran
Sidang Penape. Setibanya di rumah abang Raja Sukadana itu, kunang-kunang sakti
itu pun hinggap di tabir jendela.
Alangkah
kagetnya Alap Alap (Si Kunang-kunang) karena belum saja menguncupkan sayapnya,
tiba-tiba terdengar suara dehem Pangeran Sidang Penape dan menyapanya dengan
lembut. "Kaukah itu Lap," tanya pangeran sakti mandraguna itu.
Tanpa
bisa berkelit (walaupun telah menjelma menjadi kunang-kunang), Alap-alap
menyahuti sapaan Pangeran Sidang Penape. "Benar pengeran," katanya
terbata-bata.
Pengeran
Sidang Panape pun kembali bertanya, siapakah gerangan yang menyuruh Alap Alap,
tetapi dijawab ramai orang yang menyuruhnya. "Nah, sekarang
pulanglah," singkat pangeran yang semakin populer itu.
Tanpa
basa-basi lagi, Alap Alap pun terbang kembali pulang dan menyampaikan usahanya
yang gagal membunuh Pangeran Sidang Penape kepada Raja Sukadana.
Selanjutnya
giliran Olop Olop yang akan melaksanakan tugasnya membunuh Pangeran Sidang
Penape. Teman Alap Alap ini pun menjelma menjadi seekor kucing hitam. Tetapi,
baru saja tiba dibendul pintu, kedatangannya sudah diketahui si empunya rumah
yang menjadi sasaran pembunuhan.
"Apalagi
kerja kau Lop, balik sajalah dan tidak usah datang-datang lagi kemari,"
kata Pangeran Sidang Penape kepada Olop yang terkejut bercampur takjub akan
kesaktikan pengeran kerajaan Sukadana itu.
Sama
halnya dengan Si Kunang-kunang, Olop Olop (Si Kucing Hitam) pun pulang mengadu
ke Raja Sukadana, kalau tugasnya gagal dilaksanakan, karena ketahuan lebih
dulu.
*Para
Pendekar Banyak yang Takluk
Suatu
ketika, datanglah seorang perantau Bugis yang ingin mengukur kesaktian Pangeran
Sidang Penape. Karena pangeran Sukadana itu telah menjadi buah bibir di
berbagai kerajaan.
Perantau
Bugis itu pun menikahi gadis Sukadana dan tidak menyerahkan istrinya kepada
Pangeran Sidang Penape di Gunung Lalang. Alhasil, penduduk Sukadana menjadi
heboh, karena belum pernah yang berani melakukan hal tersebut.
Tidak
seorang pun penduduk dapat membayangkan kemurkaan Pangeran Sidang Penape
terhadap ulah Perantau Bugis yang tidak memenuhi adat yang dibuat saudara tua
Raja Sukadana.
Sementara
itu, kendati tinggal di Gunung Lalang, Pangeran Sidang Penape mengetahui dengan
pasti siapa yang enggan melaksanakan aturan yang dibuatnya.
Pangeran
Sidang Penape pun turun gunung. Dengan gaya khasnya, saudara tua Raja Sukadana
ini berjalan perlahan menuju tempat tinggal Perantau Bugis bersama istri barunya.
Rakyat
yang melihat Pangeran Sidang Penape berlenggang dari gunung pun segera menepi.
Di samping diselimuti rasa takut, rakyat jelata itu pun terkagum-kagum dengan
ketampanan dan senyuman pangerannya.
Kendati
usia Pangeran Sidang Penape saat itu telah lebih lima puluh tahun, tetap saja
kelihatan muda dan segar. Senyuman dan kerlingan matanya selalu memikat
gadis-gadis Sukadana.
Setibanya
di tujuan, Pangeran Sidang Penape pun menyapa Perantau Bugis dengan ramah.
"Apa kabar rang dagang," katanya kepada orang yang telah petantang
petenteng akan mengakhiri aturannya.
Perantau
Bugis sempat terkesima dengan kewibawaan Pangeran Sidang Penape yang berdiri di
depan pintu rumahnya. "Baik saja Pangeran," jawabnya.
Pangeran
Sidang Penape pun menatap tajam dan dalam kepada Perantau Bugis seolah menahan
amarah yang siap dilepaskan. "Tahukah rang dagang adat di sini,"
tanya Pangeran.
Perantau
Bugis berpura-pura tidak tahu. Sehingga suara Pangeran Sidang Penape semakin
meninggi, "Belum tahu katamu," sergah pria tidak beristri ini.
Pangeran
Sidang Penape pun menjelaskan aturan yang dibuatnya. Tetapi Perantau Bugis itu
tidak mau malaksanakannya, karena adat itu menghina dan merendahkan orang lain.
Perang
mulut pun tidak dapat dielakkan, karena Perantau Bugis masih bersikukuh tidak
mau melaksanakan aturan yang dibuat Pangeran Sidang Penape. Tiba-tiba terdengar
suara lantang. "Langkahi dulu mayatku baru kau boleh mengambil
istriku," kata Perantau Bugis lantang.
Pangeran
Sidang Penape bukannya kaget, tetapi langsung melangkah masuk ke rumah. Melihat
hal itu, dengan geram Perantau Bugis menghujamkan badiknya (cudik) berkali-kali
ke tubuh Pangeran Sidang Panape. Kendati tepat sasaran, tidak menyebabkan luka
sedikitpun.
Tanpa
menghiraukan hujaman badik, Pangeran Sidang Penape memangkul istri Perantau
Bugis ke luar rumah untuk di bawah ke Gunung Lalang, tempat peraduannya.
Perantau
Bugis itu pun menghentikan hujamannya, karena badik di tangannya tinggal
gagang. Badannya pun lunglai, sementara orang yang diserang tidak bergeming
sedikitpun.
Setelah
Perantau Bugis putus asa melakukan aksi konyolnya, Pangeran Sidang Penape
menurunkan perempuan yang dipangkul agar dapat mengiringinya menuju peraduan.
*Belanda
Tantang Pangeran Sidang Penape
Kesaktian
Pangeran Sidang Panape kian populer seantero negeri. Tapi hal tersebut tidak
menciutkan nyali kompeni Belanda yang ingin menjajah bumi pertiwi. Bahkan nekat
menantang Pangeran Sidang Penape.
Ketika
Belanda menginjakkan kakinya di Sukadana, masyarakat menganggap hal itu biasa.
Karena kedatangan bangsa penjajah itu dengan baik, sehingga masyarakat tidak
mengira akan mencaplok kerajaan Sukadana.
Tetapi,
tiba-tiba Belanda mengultimatum Raja Sukadana untuk menyerahkan kekuasaannya.
Kecuali kalau ada manusia yang sanggup menahan peluru meriamnya.
Raja
Sukadana tentu saja tidak punya pilihan lain, karena untuk melawan serdadu
Belanda, tentaranya yang tidak terlalu banyak dan tidak akan mampu menandingi
kecanggihan peralatan penjajah tersebut.
Akhirnya,
dipanggillah Pangeran Sidang Penape untuk memenuhi tantangan Belanda. Mendapat
tantangan seperti itu, tidak membuat gentar pangeran yang "dibenci"
rakyat Sukadana itu.
Ketika
Pangeran Sidang Panape turun dari peraduannya di Gunung Lalang, rakyat telah
berkumpul di tempat yang ditentukan untuk duel dengan Belanda. Harap-harap
cemas pun terlihat dari wajah para penduduk, khawatir pengerannya itu celaka.
Setibanya
Pangeran Sidang Penape, rakyat Sukadana memandangnya dengan rasa iba. Kendati
pangerannya itu membuat aturan yang menyengsarakan rakyat, tetapi mereka tetap
mencintainya, karena rela berkorban demi bumi pertiwi.
Duel
antara Pangeran Sidang Penape dengan Belanda bukan orang per orang. Tetapi
pengeran Sukadana itu diminta meletakkan telinganya di depan meriam untuk
diledakkan.
Dengan
tenang Pangeran Sidang Penape berdiri di moncong meriam Belanda dan mendekatkan
telinganya. Melihat hal tersebut Raja Sukadana beserta rakyatnya semakin
berdebar-debar, khawatir "pahlawannya" celaka.
Setelah
mendapat aba-aba, meriam pun disulut dan mengeluarkan dentuman keras serta asap
yang mengepul yang membuat Pangeran Sidang Penape tidak terlihat. Hal itu
membuat deraian air mata mengalir dari ratusan pasang mata yang menyaksikannya.
Tetapi,
di luar dugaan serdadu Belanda dan rakyat Sukadana, setelah asap menipis, tampak
Pangeran Sidang Penape masih berdiri tegak tanpa luka sedikit pun sambil
sesekali mengibaskan pakaiannya yang berdebu akibat peluru meriam. Rakyat
Sukadana pun riang gembira menyaksikan peristiwa menakjubkan itu.
Usai
mengunjukkan kebolehannya, Pangeran Sidang Penape langsung kembali ke tempat
tinggalnya di Gunung Lalang. Sementara Belanda pun bertolak menggunakan kapal
meninggalkan Sukadana.
Dari
atas Gunung Lalang, Pangeran Sidang Penape menyaksikan kapal Belanda
meninggalkan Sukadana, serta merta dia menjadi berang dan berteriak
sekeras-kerasnya hingga terdengar semua orang. "Kenapa penjajah itu
dibiarkan pergi, tembak...tembak mereka," lantangnya.
Lalu
Pangeran Sidang Penape kembali menuruni gunung. Sementara di bawah Raja
Sukadana beserta rakyatnya terperanjat mendengar teriakan itu dan berkumpul
menunggu kedatangan pangeran Sukadana.
Setibanya
di bawah, Pangeran Sidang Penape kembali berseru untuk menembak kapal Belanda.
Dikarenakan kapal tersebut sudah terlalu jauh, Raja Sukadana pun tidak bisa memerintahkan
prajurit untuk menembaknya dengan meriam.
Pangeran
Sidang Penape pun semakin berang dan segera mengambil meriam serta menembak
kapal-kapal Belanda itu. Satu persatu kapal Belanda beserta serdadu di dalamnya
tenggelam terkena tembakan.
*Panggung
Besar untuk Upacara Pengorbanan
Usai
Pangeran Sidang Penape menenggelamkan kapal-kapal Belanda, berita kesaktiannya
semakin meluas. Tetapi, aturan semula tetap berlaku dan menyengsarakan rakyat
Sukadana.
Kendati
telah berjasa melumatkan kompeni Belanda, tidak membuat Raja Sukadana berhenti
berpikir untuk melenyapkan Pangeran Sidang Penape. Seluruh hulubalang dihimpun
untuk mencari jalan keluar tanpa harus menjatuhkan korban.
Dari
musyawarah Raja Sukadana beserta hulubalangnya itu menghasilkan mufakat untuk melenyapkan
Pangeran Sidang Penape. Tetapi tanpa harus bergaduh agar tidak jatuh korban.
Pasca
musyawarah, penghuni istana mulai sibuk, para hulubalang menjalankan tugasnya
masing-masing, seolah-olah akan diadakan pesta besar-besaran. Panggung
kehormatan pun dibangun di depan istana dengan dua tiang serinya berjarak
hampir dua meter.
Panggung
kehormatan itu disertai perlengkapannya yang akan digunakan pada hari yang
telah diperhitungkan ahli nujum. Setibanya pada hari yang diterawang sangat
tepat diadakan upacara, diundanglah Pangeran Sidang Penape.
Rakyat
Sukadana sudah tumpah ruah di depan istana, kerena ingin menyaksikan perhelatan
besar yang jarang sekali terjadi di negerinya itu. Sementara para hulubalang
bersegera menjemput Pangeran Sidang Penape di Gunung Lalang.
Setibanya
di gerbang istana, Pangeran Sidang Penape merasa heran melihat suasana di
halaman depan istana yang dihiasi sedemikian rupa. Hamparan permadani laksana
padang rumput yang hijau cemerlang, umbul-umbul berwarna-warni dan janur
kuning.
Biasanya
persiapan seperti itu hanya dilakukan untuk perhelatan besar, di antaranya
pernikahan, pemakaman raja, penyambutan tamu kehormatan atau upacara
pengorbanan.
Walaupun
intuisi Pangeran Sidang Penape menggambarkan sesuatu yang tidak baik, tidak
menyurutkan langkahnya memenuhi undangan adiknya. Karena menurutnya, tidak
mungkin Raja Sukadana berniat lain terhadap dirinya setelah berhasil
menenggelamkan kompeni Belanda.
Ketika
pikiran Pangeran Sidang Penape sedang berkecamuk, tiba-tiba bergemalah genderang
menyambut kedatangannya. Raja Sukadana yang mengenakan pakaian adat
kebesarannya turun menyongsong Abangnya.
Kedua
bersaudara itupun langsung berpelukan cukup lama, menggambarkan betapa eratnya
rasa persaudaraan di antara keduanya. Tanpa sempat berkata-kata, keduanya pun
berjalan berdampingan diiringi hulubalang dan penghuni kerajaan lainnya menuju
panggung kehormatan di halaman istana.
*Pengorbanan
Penjahat Kelas Kakap
Panggung
kehormatan yang berdiri megah di halaman Istana Sukadana, biasanya dibangun untuk
mengorbankan penjahat kelas kakap. Hal tersebut menjadi adat istiadat yang
dilakukan turun temurun.
Ketika
berjalan ke bangsal istana dengan diiringi Raja dan para pejabat Istana,
Pangeran Sidang Penape masih belum mengetahui siapakah gerangan penjahat yang
akan dikorbankan dengan perhelatan yang begitu besar itu.
Pangeran
Sidang Penape menanyakan hal tersebut. "Perhelatan ini begitu besar,
siapakah penjahat yang akan dikorbankan," tanyanya seraya menatap
dalam-dalam wajah adiknya, Raja Sukadana.
Mendapat
pertanyaan itu, Raja Sukadana pun menundukkan kepala dan menjawab dengan nada
yang sangat berat seolah-olah ada yang mengganjal di lehernya.
"Abanglah," singkatnya.
Bagaikan
disambar petir di siang bolong, Pangeran Sidang Penape benar-benar tidak
percaya atas ucapan adiknya itu. "Sampai hati benar kau dik, mengorbankan
abangmu sendiri," lirihnya.
Sambil
menahan perih di hati mendengar ucapan Raja Sukadana yang merupakan adik
kandungnya sendiri, Pangeran Sidang Penape menerima keinginan tersebut dengan
senang hati. "Kalaulah memang itu yang kau inginkan, ehm.. baiklah aku
terima dengan senang hati," katanya.
Ucapan
Pangeran Sidang Penape yang mengiba diri itu membuat Raja Sukadana hampir
mengucurkan air mata. Karena di dalam benaknya berkecamuk, memilih cinta kasih
kepada abangnya atau rakyatnya. Sehingga tidak sepatah kata pun yang terucap
darinya.
Di
tengah berkecamuknya pikiran Raja Sukadana dan kesalnya Pangeran Sidang Penape,
tanpa disadari mereka sudah tiba di depan tangga Panggung Kehormatan, tempat
pengorbanan itu.
Sambutan
meriah dari rakyat dan para hulubalang membuyarkan pikiran Raja Sukadana dan Pangeran
Sidang Penape. "Hidup yang mulia Raja,, hidup Pangeran," teriak para
hulubalang bersamaan dengan penduduk Sukadana.
Berbagai
jenis makanan dan minuman pun disajikan kepada Raja Sukadana dan Pangeran
Sidang Penape. Untuk sejenak, kekalutan pikiran dua bersaudara itu sirna.
Tetapi kembali menegang setelah menteri menghadap untuk menyampaikan waktu
pengorbanan telah tiba.
Raja
Sukadana merasa tidak tega menjatuhkan pengorbanan terhadap abangnya, Pangeran
Sidang Penape, karena hal itu dirasakannya sama saja menguhukum mati diri
sendiri. Lidahnya tidak mampu mengucapkan kata untuk menjawab pemberitahuan
menterinya.
Ternyata
rakyat Sukadana, juga belum mengetahui siapa gerangan yang akan dikorbankan.
Tetapi mereka sudah dapat mengira karena melihat raut wajah Rajanya yang
murung. Tidak dapat dibayangkan kalau yang dikorbankan itu Pangeran Sidang
Penape yang telah berjasa mengusir bangsa penjajah.
Seorang
pahlawan yang menyelamatkan bumi pertiwi dari penjajah, harus mati bersimbah
darah dengan tubuh hancur di Panggung Kehormatan yang kokoh beralaskan
permadani hijau. Mati sebagai penjahat di hadapan rakyat Sukadana.
Raja
Sukadana masih menimbang-nimbang keputusan terakhirnya, membatalkan pengorbanan
atau melaksanakannya. Tetapi dengan tegas raja berucap lantang,
"Laksanakanlah".
Upacara
pengorbanan pun dimulai. Seluruh para hulubalang sudah siap dengan senjata
pusaka berupa keris, golok, badik yang diselipkan di pinggang. Mata mereka
melotot tajam memperhatikan gerak gerik Pangeran Sidang Penape yang sedang duduk
di samping Raja Sukadana.
Menteri
Sukadana pun mempersilakan seluruh penduduk Sukadana untuk berdiri. Pangeran
Sidang Penape diminta berdiri di tengah Panggung Kehormatan yang telah
dikelilingi puluhan panglima hulubalang yang gagah perkasa.
Dengan
gaya yang tenang dan berwibawa, berdirilah Pangeran Sidang Penape diiringi
adiknya menuju tiang seri Panggung Kehormatan. Tiba-tiba saja suasana menjadi
tegang, debaran jantung para penglima hulubalang semakin kencang, muka memerah
lalu pucat pasih.
*Pangeran
Sidang Penape Gagal Dikorbankan
Setibanya
Pangeran Sidang Penape di antara tiang seri Panggung Kehormatan, menteri
Sukadana pun memintanya untuk merentangkan kedua tangan. Hal itu dilakukan
abang Raja Sukadana itu dengan senang hati.
Setelah
kedua tangan Pangeran Sidang Penape menyentuh tiang seri Panggung Kehormatan,
para panglima hulubalang yang sudah berdiri di sekeliling tiang seri, dengan
sigap menangkap tangan pangeran Sukadana itu dan mengikatnya di masing-masing
tiang seri.
Genderang
perang pun ditabuh, gong mengalun bersahut-sahutan pertanda upacara pengorbanan
telah dimulai.
Layaknya
perang besar, para panglima hulubalang berteriak sambil menghujamkan senjatanya
masing-masing ke tubuh Pangeran Sidang Penape yang berdiam diri tidak
memberikan perlawanan.
Rakyat
Sukadana yang berdesakan menyaksikan pengorbanan itu menjadi lengang dan
meninggalkan prosesi pengorbanan. Karena tidak tega menyaksikan pembunuhan itu.
Beberapa
orang tidak mampu membendung air matanya, karena rasa kemanusiaannya tidak
membenarkan perlakuan yang ditimpakan ke Pangeran Sidang Penape.
Raja
Sukadana pun membalikkan badannya, karena tidak ingin menyaksikan prosesi
pengorbanan terhadap saudara kandungnya.
Di
benaknya telah terbayang kalau tubuh Pangeran Sidang Penape luluh lantak,
tergeletak bersimbah darah dihantam senjata pusaka para panglima hulubalang.
Tetapi,
kendati tidak melihat prosesi pengorbanan, telinga Raja Sukadana mendengar
dentingan dan dentuman seolah besi beradu besi. Dia pun segera membalikkan
badannya dan melihat prosesi pengorbanan.
Mata
Raja Sukadana terbelalak melihat kejadian di depannya. Pakaian Pangeran Sidang
Penape hangus dan hancur dihantam pusaka turun temurun milik para panglima
hulubalang. Tetapi tubuhnya tidak tergores sedikitpun.
Kejadian
tahun-tahun sebelumnya terulang kembali. Semua senjata pusaka yang ditikamkan,
tidak mampu menggores kulit Pangeran Sidang Penape, apalagi membunuhnya.
Bahkan
kondisi senjata pusaka milik para penglima hulubalang sangat memprihatinkan,
karena bengkok dan patah berkeping-keping.
Tubuh
Pangeran Sidang Penape kaku dan keras seperti baja. Senjata pusaka yang
menyentuh tubuhnya menimbulkan percikan api, seolah besi yang dihantamkan
dengan besi.
Ratusan
kali tikaman dialamatkan ke tubuh Pangeran Sidang Penape, tetapi tidak
membuahkan hasil. Akhirnya, para panglima hulubalang lesu darah dan mulai
menjauhkan diri. Selain karena senjatanya pusakanya telah rusak, juga takut
Pangeran Sidang Penape membalasnya.
Keringat
bercucuran di tubuh para panglima, rasa letih pun mendera seluruh tubuhnya.
Upaya untuk mendapatkan balasan jasa atas keberhasilan membunuh Pangeran Sidang
Penape tinggal sebatas harapan. Karena senjata yang sudah ditempah sedemikian
rupa tidak mampu melukai saudara tua Raja Sukadana itu.
*Pangeran
Sidang Penape Menangis
Tetapi,
Pangeran Sidang Penape bukannya gembira atau congkak karena tidak seorang pu
yang berhasil menghabisi nyawanya. Abang Raja Sukadana ini malah bersedih, air
matanya meleleh membasahi pipi. Tidak ubahnya anak kecil yang dipukul
orangtuanya.
Bukannya
sakit karena dihujam senjata tajam, Pangeran Sidang Penape menangis karena
tidak menyangka adik kandung yang begitu disayangi, ternyata menginginkan
kematiannya. Sehingga pria tangguh itu tidak sanggup lagi membendung air
matanya.
Pangeran
Sidang Penape tidak habis pikir, adiknya (seorang raja yang bijaksana dan
begitu menyayanginya" bermaksud menghabisi nyawa saudara kandungnya di
Panggung Kehormatan, suatu tempat untuk mengorbankan para penjahat.
"Adikku...
mengapa engkau tega mau menghabisi nyawa Abangmu," katanya lirih seraya
menatap Raja Sukadana yang terpaku di tempatnya menyaksikan prosesi
pengorbanan.
Raja
Sukadana pun kelimpungan mendengar ucapan Pangeran Sidang Penape. Tiba-tiba
saja suasana menjadi hening, tidak seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
Para
panglima hulubalang yang tadinya memiliki semangat membunuh, ikut terpaku
melihat ksatria sejati di hadapannya meneteskan air mata.
Sementara
itu, Raja Sukadana bertambah bingung menjawab pertanyaan dari abangnya. Dengan
suara berat dan terbata-bata dia berkata.
"Maafkan
aku kakanda, hal ini kulakukan demi penduduk Sukadana yang sudah tidak sanggup
lagi menaati adat yang Abang berlakukan, karena adat itu bertentangan dengan
rasa kemanusiaan," terangnya.
Usai
berkata demikian, Raja Sukadana langsung terdiam, karena tidak sanggup melihat
tetesan airmata abang kandungnya yang semakin menjadi-jadi, seolah tumpah
begitu saja dari matanya.
Mendengar
jawaban adiknya, Pangeran Sidang Penape hanya menggeleng-gelengkan kepala,
merasa tidak percaya atas jawaban yang dilontarkan saudara kandungnya.
"Baiklah...baiklah...kalau
adik memang mengingikan kematianku, aku tidak bisa mengelak lagi. Mungkin
memang sudah suratan takdir kalau aku mati di tangan adik kandungku
sendiri," katanya.
*Pangeran
Sidang Penape "Buka Kartu"
Kesalahan
terkadang baru disadari setelah orang lain memiliki keinginan yang kuat untuk
menyadarkannya. Hal itulah yang terjadi pada Pangeran Sidang Penape. Kebulatan
tekad Raja Sukadana membuatnya menyadari kesalahan yang dilakukan.
Pangeran
Sidang Penape menarik napas dalam-dalam. Selanjutnya berkata kepada adiknya.
"Apalah artinya aku hidup bila adikku sendiri membenciku. Agaknya ajalku
pun sudah dekat," lirih pangeran sakti mandraguna itu berusaha menegarkan
hatinya.
Raja
Sukadana hanya terpaku dengan wajah yang tidak berseri sama sekali. Orang nomor
satu di Kerajaan Sukadana itu pun berlutut dan memeluk kaki abangnya, meratap
dan menangis seraya meminta maaf kepada saudara tuanya itu.
"Ampun
Bang....ampun, ampunilah kesalahanku," kata Raja Sukadana tanpa bisa
berucap banyak dan air matanya mengalir deras di pipi.
Berat
lidahnya berkata-kata karena tertekan perasaan atas segala perbuatannya yang
melukai, menghancurkan hati dan perasaan abangnya.
Pangeran
Sidang Penape pun dengan bijaksana berusaha menghibur adiknya.
"Sudahlah...sudahlah adikku. Karena ajalku pun memang sudah tiba. Janji
akhir telah diputuskan, suratan telah ditentukan, takdir sudah menunggu, aku
harus mati di tanganmu sendiri," katanya.
Kendati
harus mati di tangan adiknya, Pangeran Sidang Penape telah memaafkan perlakukan
Raja Sukadana terhadapnya. "Aku mengerti kau tidak akan sampai hati
melakukan ini, tetapi demi rakyatmu, demi kerajaanmu, ini harus kau
lakukan," tegasnya.
Pangeran
Sidang Penape menyadari selama ini selalu mementingkan diri sendiri, memenuhi
perintah nafsu tanpa memikirkan perasaan orang lain.
"Itu
pun aku terima, karena sudah suratan lahir dan pintaan badan," tuturnya
dengan lancar, teratur dengan wajah yang tampak tenang.
Raja
Sukadana pun terisak-isak, tangisnya perlahan-lahan mulai mereda. Pelukan di
kaki abangnya pun dilepas dan berdiri seraya merangkul Pangeran Sidang Penape.
Di tubuh abangnya, Raja Sukadana kembali menangis.
Ketika
ayahandanya meninggal dunia, hanya air mata perpisahan yang mengalir, karena
orang yang sangat dihormatinya itu meninggal secara wajar akibat lanjut usia.
Tapi kini, abangnya harus mati di tangannya sendiri, atas permintaan Pangeran
Sidang Penape.
Suasana
menjadi hening, yang terdengar hanya tangis Raja Sukadana. Tiba-tiba Pangeran
Sidang Panape berucap. "Ambillah keris di bawah bantalku. Keris itu tidak
bergagang, buatlah gagangnya dari tebu. Aku tidak akan mati oleh senjata pusaka
apapun, kecuali dengan keris pusaka itu. Ambillah...," perintahnya.
Dengan
suara yang berat dan perlahan, Pangeran Sidang Penape melanjutkan kata-katanya.
"Jangan kau tikamkan keris pusaka itu ke tubuhku. Tetapi goreskan saja di
tepi telingaku. Setelah itu baringkan aku di peraduan dengan dijaga seorang
perawan, sebagai istriku yang terakhir," pintanya.
*Matinya
Seorang Pangeran Sakti Mandraguna
Raja
Sukadana pun segera memerintahkan dua orang prajuritnya mengambil pusaka tidak
bergagang (seperti yang disebutkan Pangeran Sidang Penape). Dua orang lagi
diperintahkan membuat gagang keris dari tebu.
Tidak
sampai satu jam, suruhan Raja Sukadana sudah kembali membawa keris pusaka milik
Pangeran Sidang Penape yang disimpan di bawah bantal. Gagang keris pun telah
dibuat dari tebu.
Segera
saja, keris pusaka berwarna cokelat tua yang belum bergagang dan gagang dari
tebu diserahkan ke Raja Sukadana. Selanjutnya, gagang tersebut dipasang ke
keris dari besi tua itu.
Sesuai
arahan Pangeran Sidang Penape yang memberikan cara menghabisi nyawanya, Raja
Sukadana pun menggoreskan keris pusaka bergagang tebu di dekat telinga abangnya
itu.
Perlahan
tapi pasti, darah berwarna putih mengalir dari dekat telinga Pangeran Sidang
Penape. Tubuh yang gagah perkasa, berotot dan tidak pernah terluka itu pun
mulai lunglai.
Melihat
keadaan tersebut, Raja Sukadana pun dengan sigap menangkap tubuh Pangeran
Sidang Penape, diikuti para panglima hulubalang. Beberapa pengawal istana
Sukadana pun menyelimuti tubuh pangeran sakti mandraguna itu dengan selimut
tebal.
Hulubalang
lainnya pun terburu-buru membawa tandu beratap kain warna kuning keemasan yang
tiap pinggirnya memiliki renda. Di dalamnya tersedia kasur empuk berseprai
indah.
Tubuh
Pangeran Sidang Penape yang kian lesu dimasukkan secara perlahan ke tandu kerajaan
itu. Delapan para hulubalang segera mengangkat tandu yang di dalamnya telah
terbaring seorang pangeran yang tidak berdaya.
Dengan
suasana hening yang kian mencekam, tandu kerajaan berjalan perlahan diiringi
Raja Sukadana, para menteri, pejabat kerajaan dan ratusan hulubalang.
Semua
wajah tertunduk lesu dan air mata mengalir dari beberapa pasang mata yang
mengiringi Pangeran Sidang Penape.
Cukup
panjang perjalanan rombongan yang membawa Pangeran Sidang Penape menuju Gunung
Lalang, tempat peraduan sekaligus tempat peristirahatan menuju kematian abang
Raja Sukadana itu.
Setibanya
di gerbang tempat Pangeran Sidang Penape bertapa di Gunung Lalang, tandu
kerajaan diturunkan.
Beberapa
hulubalang pun mengusung tubuh dalam selimut tebal yang mulai basah terkena
darah warna putih yang keluar dari luka goresan di dekat telinganya.
Kemudian
tubuh Pangeran Sidang Penape dibaringkan di tempat tidur. Sesuai wasiatnya,
seorang perawan pun diperintahkan untuk menemaninya.
Tiga
hari tiga malam, perawan yang menemani Pangeran Sidang Penape di dalam kamar
tidak memberi kabar. Para panglima hulubalang dan dayang-dayang istana pun
bergiliran menjaga rumah di Gunung Lalang itu.
Tepat
pada akhir di hari ketiga, Si Perawan (yang mungkin tidak perawan lagi)
memberitahukan kepada para hulubalang, bahwa saudara tua Raja Sukadana telah
meninggal dengan tenang di pangkuan wanita terakhir yang menemaninya itu.
*Dimanakah
Keturunan Sebugal?
Kematian
Pangeran Sidang Penape di pangkuan perempuan terakhir yang menemaninya, membuat
seluruh penduduk Sukadana bersedih. Masyarakat telah melupakan aturan atau adat
yang membuat mereka sengsara selama ini.
Kesedihan
pun memuncak ketika prosesi pemakaman Pangeran Sidang Penape. Dari para pejabat
istana hingga rakyat jelata menangisi kepergian pangeran yang berhasil
meneggelamkan kapal-kapal Kompeni Belanda itu.
Proses
pemakaman yang dilaksanakan dengan adat kebesaran kerajaan itu merupakan akhir
kisah seorang pangeran yang menerapkan adat di luar prikemanusiaan dan tidak
menghormati hak orang lain. Tetapi juga seorang pahlawan yang mengusir penjajah
dari bumi pertiwi.
Sejak
meninggalnya Pangeran Sidang Penape, kehidupan penduduk Sukadana normal
kembali; negeri yang aman dan tentram.
Rakyat
yang hidup berpindah-pindah mencari kebutuhan sehari-hari dan kembali ke tempat
tinggalnya setelah selesai memenuhi kewajibannya mencari nafkah bagi keluarga.
Namun,
nama Pangeran Sidang Penape selalu menjadi buah bibir dan menjadi kisah
kebanggaan bagi negerinya, karena memiliki seorang pangeran yang sakti mandraguna,
tidak tertandingi dan berhasil mengusir penjajah Belanda.
Tidak
seorang pun yang memperdulikan lagi tentang peraturan yang pernah diterapkan
Pangeran Sidang Penape. Mereka memilih mengenang kebaikan orang lain dan
melupakan kejahatan yang pernah dilakukannya.
Sembilan
bulan sepuluh hari sejak kematian Pangeran Sidang Penape, perempuan yang
menungguinya melahirkan seorang putra. Kelahirannya sangat mengejutkan orang
banyak, karena tembuniknya keras, membesar dan membatu.
Tembunik
inilah yang disebut Batu Sebugal. Kini dianggap sebagai peninggalan kerajaan
tua Matan.
Hingga
akhir kerajaan Simpang, Batu Sebugal itu dijadikan benda keramat, batu tempat
bertapa mengharapkan kesaktian Pangeran Sidang Penape, pendekar sakti yang
tidak pernah memiliki seorang murid.
Pangeran
Sidang Penape tidak pernah menurunkan sedikitpun kesaktian yang dimilikinya
kepada orang lain seperti kebal senjata tajam dan tumpul, tahan tembak, rendam,
bakar dan segala jenis kedigjayaan lainnya.
Tetapi
masyarakat menyakini, dengan bertapa di atas Batu Sebugal dan mengalami
berbagai cobaan serta godaan, orang tersebut akan mewarisi segala kesaktian
yang pernah dimiliki Pangeran Sidang Penape.
Dahulu
kala, orang yang selesai bertapa di Batu Sebugal, kesaktiannya akan dites
(dicoba) dengan merobek batang-batang pohon yang besar dan ditikam atau digores
dengan senjata tajam. Bila kulitnya masih tergores, orang tersebut akan kembali
bertapa hingga keinginannya tercapai.
Orang
melupakan kalau Pangeran Sidang Penape memiliki keturunan, seorang putra yang
lahir dengan tembunik yang membantu. Padahal telah diyakini kalau kesaktian
Pangeran Sidang Penape menitis pada orang yang disebut Keturunan Sebugal itu.
Kendati
demikian, Keturunan Sebugal ini bukannya tidak ada. Mereka memiliki ciri-ciri
berbadan besar, tegap dan gagah. Tetapi tidak pernah memperlihatkan kesaktian
seperti halnya Pangeran Sidang Penape.
Masyarakat
sekarang tidak mengetahui secara pasti, siapa saja Keturunan Sebugal. Karena
tidak seorang pun dari keturunan Pangeran Sidang Penape itu yang populer, baik
karena kesaktian maupun perbuatannya.
Selain
kisah Pangeran Sidang Penape yang mengagumkan, orang-orang tertentu masih
mencari siapa dan di mana keberadaan Keturunan Sebugal. Tentu saja mengharapkan
orang tersebut menurunkan kesaktian Pangeran Sidang Penape kepadanya.
*Kesaktian
Pangeran Sidang Penape Terus Diburu
Sampai
sekarang pun, masih banyak yang tergiur mewarisi kesaktian Pangeran Sidang
Penape seperti kebal senjata tajam dan tumpul, tahan tembak, rendam, bakar dan
segala jenis kedigjayaan lainnya.
Berbagai
cara pun ditempuh, di antaranya dengan bertapa di Batu Sebugal, yang diyakini
merupakan tembunik keturunan satu-satunya Pangeran Sidang Penape dari perempuan
yang menemaninya ketika detik-detik menjelang kematian.
Bagi
yang bertapa di atas Batu Sebugal, akan mengalami berbagai cobaan dan hambatan.
Tetapi, dari berbagai cerita masyarakat, tidak disebutkan jenis cobaan dan
hambatan yang harus dilalui untuk mendapatkan kesaktian yang dimiliki Pangeran
Sidang Penape itu.
Tidak
hanya jenis cobaan yang tidak diketahui secara pasti, lamanya waktu bertapa pun
tidak disebutkan. Apalagi hal itu hanya didasarkan pada keyakinan masing-masing
bukan ketentuan yang diberikan seorang guru atau dari Pangeran Sidang Penape
Sendiri.
Selain
itu, tidak satu pun cerita lisan maupun tulisan yang menyebutkan siapa dan di
mana tempat tinggal Keturunan Sebugal. Masyarakat hanya meyakini kalau
keturunan Pangeran Sidang Penape itu berbadan besar, tegap dan gagah.
Berpuluh-puluh
tahun masyarakat mencari tahu siapa Keturunan Sebugal, tapi tidak membuahkan
hasil. Karena tidak satupun yang mengaku atau diketahui sebagai keturunan
Pangeran Sidang Penape.
Seiring
peralihan dan perkembangan zaman, kisah Pangeran Sidang Penape dianggap legenda
belaka. Bahkan beberapa orang meragukan kebenaran kisahnya. Karena tidak ada
bukti yang otentik selain Batu Sebugal yang diyakini sebagai tembunik anak
Pangeran Sidang Penape.
Tetapi
cerita pangeran sakti mandraguna itu terus diwariskan. Termasuk kepada
anak-anak sekolah. Karena di dalam kisah Pangeran Sidang Penape terdapat
beberapa pelajaran yang dapat diambil hikmahnya.
Di
antaranya, tidak selamanya adat itu memberikan dampak positif kalau melanggar
nilai kemanusiaan. Kesaktian tidak menjamin seseorang tidak bisa mati (pasti
ada kelemahannya), karena setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati.
Nasionalisme
Pangeran Sidang Penape patut diacungi jempol, dia rela berkorban agar daerahnya
tidak dijajah. Selain itu, kesaktiannya juga digunakan untuk meluluhkan
lantakkan penjajah yang ingin merenggut bumi pertiwi.
Pada
kisah Pangeran Sidang Penape juga terdapat nilai positif lainnya, yakni
mendahulukan kepentingan umum ketimbang pribadi, seperti yang dilakukan Raja
Sukadana yang mengorbankan persaudaraan demi kemaslahan rakyatnya. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar