Jumat, 03 Juni 2016

TRADISI KRITIS MAHASISWA

TRADISI KRITIS MAHASISWA 
Oleh : Apriadi Harany
 
Mahasiswa takut pada Dosen…
Dosen takut pada Dekan…
Dekan takut pada Rektor…
Rektor takut pada Menteri…
Mentri Takut pada Presiden…
Presiden Takut pada Mahasiswa…
(Taufik Ismail, 1998)
 
Penggalan puisi diatas adalah karya seorang sastrawan ternama Indonesia yang mengandung makna mendalam dari sejarah panjang perjuangan mahasiswa dalam progesivitas perbaikan bangsa ini. Puisi itu merupakan rekam sejarah heroisme mahasiswa Indonesia yang tiada pernah henti memperjuangankan takdir negaranya dengan senantiasa mengawal dan mengevaluasi jalannya pemerintahan. Mahasiswa adalah bagian dari pemuda yang mempunyai andil besar dalam sejarah dinamika perkembangan bangsa ini. Mahasiswa adalah pemuda yang mempunyai peran sebagai agent of change, social control, iron stock, dan the guardian value dalam ranah berbangsa dan bernegara. Sebagai manusia yang lebih tercerahkan (enlightenment people) dibandingkan kelompok masyarakat lainnya, mahasiswa seharusnya mempunyai kepekaan dan kepedulianterhadap kondisi di sekelilingnya.
Penumbuhan sikap peka dan peduli mahasiswa terhadap kondisi di sekitarnya harus disuburkan sejak dini, karena mahasiswa egois-lah yang hanya mementingkan diri sendiri, sedangkan realitas mayoritas masyarakat bangsa ini masih tertindas oleh ketidakadilan dan kebodohan. Apapun minat, keahlian, dan kemampuan mahasiswa, mahasiswa harus mempunyai kesadaran untuk terus menggali informasi, ilmu pengetahuan dan membekali diri dengan kapasitas keilmuan yang tinggi, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap kemajuan bangsa dan masyarakatnya. Itulah jiwa, pikiran dan tindakan seorang mahasiswa, yaitu kritis, peka, peduli, dan haus akan informasi dan pengetahuan.
Oleh karena itu, berdasar ketiga nilai tri dharma perguruan tinggi tersebut, mahasiswa harus mempunyai sikap kritis terhadap kondisi sekitarnya, peka, peduli, dan haus akan ilmu pengetahuan dan informasi untuk kemudian memberikan apa yang mahasiswa kuasai kepada masyarakat. Ilmu dan hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa jika tidak pernah ditransfer kepada masyakarat hanya akan bernilai nol (0). Pengabdian kepada masyarakat beranegaka ragam bentuknya, misalnya aksi turun kejalan, bakti sosial, pasar murah, pengobatan gratis, pelatihan dan pembinaan di desa – desa, dll
Akan tetapi persoalannya apakah kita cukup dan hanya berhenti pada tradisi kritis saja? Ketika kondisi kebangsaan saat ini tidak sekedar hanya “membongkar” bangunan yang salah, tetapi juga “membangun” , “mencipta” sebagai tawaran alternatif pembongkaran tersebut. kemudian kita menghadapi neo-moderisme atau Postmodernisme, persoalan global warming, juga percepatan tumbuh dan berkembangnya akses informasi seperti Internet yang mempunyai sisi negatif apabila salah digunakan yang kesemuanya membutuhkan jawaban mendesak, tidak hanya kritis, bertanya, dan membongkar kebusukan kondisi, zaman? Belum lagi seorang aktifis dihadapkan atas persoalan personalnya, apakah kuliahnya bisa selesai jika demo saja sementara orang tua tidak bisa membiayainya?  Bagimana cita-citanya dan cintanya kabur semuanya? Semua pemimpin dan kekuasaan di kritisi, semua institusi dan pejabatnya di kritisi, semua dipertanyakan, semua dikritik, bahkan rakyat kemudian juga disalahkan karena kemiskinannya, ketidakberdayaannya, tidak kritisnya terhadap penguasa sehingga tidak melakukan perlawanan ketika mereka diisap dan ditindas.
Oleh karena itu, kritis disini tidak cukup, tetapi juga perlu populis. Artinya, populis adalah bentuk pemihakan kepada rakyat yang tertindas, terpinggirkan, dengan melindungi dan membela haknya sebagai manusia dengan kemanusiaannya, termasuk populis terhadap dirinya. Inilah kemudian pentingnya bagaimana sikap kritis perlu dibarengi dengan sikap populis, yang mana kekritisan kita memiliki nilai moralitas dan pemihakan perjuangan yang jelas, yaitu Humanis.
Akan tetapi, bagaimanakah jika sebagai seorang pejuang di zaman sekarang, yang hanya berjuang dengan sikap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar