Calon Pemimpin dan Obrolan Rakyat
Oleh : Apriadi,
S.Pd
Ketika melihat daftar calon pemimpin kepala Daerah, yang sudah
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
kemarin popularitas dan sepakterjangnya sudah diteliti. Maka dari
itu dari para pemimpin, kita bisa belajar apa? Faktanya, di Tanah Air ini,
sangat sulit mencari seorang pemimpin yang dapat memberikan pelajaran positif
untuk kehidupan kita. Kita tidak memerlukan pemimpin yang hanya jago berwacana
tetapi dalam tindakan nol. Kita tidak memerlukan pemimpin yang hebat dalam
pencitraan, tetapi tujuannya untuk menutupi kekurangannya. Kita tidak
memerlukan pemimpin yang berkata ‘A’ pada saat kampanye, tetapi berbuat ‘B’
ketika memimpin. Dalam benak saya terbentuk beberapa pengklasifikasian,
pendapat saya tentang calon Pemimpin, yaitu (1) pemimpin merakyat; (2) pemimpin
elitis dan (3) pemimpin nanggung.
Seperti apakah pemimpin merakyat itu? Pemimpin
merakyat tidak cuma satu jenisnya, ibarat gaya tari Melayu, sama-sama kesatria,
ada yang lemah lembut, ada yang gagahan. Dalam penokohan teater rakyat, tokoh-tokoh
yang lemah lembut menunjukkan tingginya peradaban, tetapi jika dialog macet dan
terjadi konflik, klimaks pertunjukan adalah gaya gagahan yang memperlihatkan
pula kaki menendang. Prosedur ini diikuti dengan setia oleh pemimpin merakyat,
dan adegan menendang itu jarang diperlukan. Jika ada pemimpin gagahan yang suka
menendang sebagai pesaing, dalam situasi damai pemimpin inilah yang lebih
menenteramkan. para pemimpin yang tergolong merakyat.
Biasanya mereka bukan lulusan luar negeri,
bahasa Inggris pas banderol, bahasa Indonesianya mencerminkan bahasa daerah
yang dikuasainya, cara berbusana pokoknya ikut yang banyak, jauh lebih spontan
ketimbang elegan, dan lebih mengikuti naluri beserta “nalar berdasarkan
pengalaman” ketimbang mengacu prinsip-prinsip “demokrasi”. Pemimpin seperti ini
mengandalkan “musyawarah dan mufakat” ketimbang voting, dalam arti mencermati
peranan sistem nilai tradisional dalam berorganisasi, tanpa harus
berkonfrontasi dengan demokrasi itu sendiri.
Selanjutnya Pemimpin Elitis, Seperti apakah
Pemimpin Elitis itu ? Sebagai pribadi sudah jelas elegan: bukan sekadar bahasa
Inggrisnya fasih dan bahasa Indonesianya tidak beraksen, busana formal maupun
nonformalnya tidak pernah “salah”, dan pengorbanan dirinya untuk tetap
tersenyum kepada orang yang paling menjengkelkan sangat mengharukan, tapi juga
bahwa sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan seolah-olah “otomatis
demokratis”. Sebagai nilai tambah, bisa disebutkan bahwa keluarganya pun
elitis, yang sekali sebut semua orang sudah tahu, barangkali orang tua atau
kakek-neneknya ngomong Inggris, dan wajar pula bisa memainkan alat musik klasik
dengan salah satu instrumen. Jika mau “merakyat”, doi mungkin bisa nge-blues
atau Dangdutan. Kenapa tidak? Mungkin memang tidak semua buku wajib dalam peradaban
Barat (Shakespeare? Tolstoy? Atau Gorky?) telah dibacanya, tapi semua “buku
global” mutakhir, dari Murakami, Stephen Hawking, sampai Dan Brown, ada
kemungkinan sudah, karena bisa disambar di Toko Buku di Mall maupun di Bandara.
Dilengkapi pendidikan yang mempuni, dia adalah
prototipe pemimpin ideal. Namun kenapa popularitasnya kemper alias berlari
paling belakang dalam balapan? Jawaban ditunda dengan memperhatikan Para
Pemimpin yang tergolong Nanggung.
Sikap “pura-pura elegan” justru selalu
terdapat pada para pemimpin “nanggung”. Benar berijazah, tapi ke-intelektualitasnya
pas-pasan, inteligensia mungkin tinggi, tapi tanpa keberanian moral untuk
melakukan perubahan. Pemimpin seperti ini memang “nanggung”, tidak elitis dan
tidak merakyat. Asalnya memang dari rakyat, tetapi doi punya ekspresi seperti
mengingkarinya, selalu berusaha menunjukkan diri sebagai berkelas elite-yang
hanya mampu dicapai (dengan membeli) simbol-simbolnya saja. Betapa pun, dalam
kekosongan “pasar pemimpin”, pemimpin nanggung ini bisa mengecoh, dan hanya
kemunculan pemimpin merakyat akan menunjukkan belangnya.
Pemimpin elitis sebetulnya bisa sangat
dipercaya integritas moralnya dan nyaris memiliki semua, kecuali satu hal,
yakni bahasa rakyat-itulah kekurangannya yang vital sekaligus fatal dalam
persaingan dengan pemimpin merakyat. Bahasanya bahasa diskusi, kelas sosial
yang tertunjukkan oleh cara berbahasanya terlalu berjarak dari orang
kebanyakan, sehingga gagasan-gagasan barunya yang paling membumi pun tidak
dapat ditangkap dengan baik. Bersaing dengan pemimpin merakyat maupun pemimpin
nanggung, pemimpin elitis tidak akan menang. Kenapa?
Pasar politik sama saja dengan pasar bisnis,
para pemimpinnya dipasarkan, terutama melalui media social yang hari-hari ini
gencar dilakukan, dan para konsumen menanggapi trik-trik pemasaran ini seperti
menghadapi barang komoditas sehari-hari, bahwa para konsumen itu membeli
berdasarkan politik identitasnya sendiri, yakni seberapa jauh para pemimpin
yang dipasarkan itu dapat mengukuhkan keberadaan dirinya. Maka para konsumen hanya akan memilih
pemimpin yang bahasanya mewakili bahasa mereka, seorang pemimpin yang kepadanya
mereka bisa melakukan identifikasi diri mereka. Berlangsung konversi dari
“konsumsi saya adalah saya” menjadi “pemimpin saya adalah saya”. Adalah bahasa,
bukan dalam pengertian linguistik, melainkan dalam segala penanda yang meruap
daripadanya, terutama cara berpikirnya, yang pertama-tama akan dirujuk oleh
rakyat, yang sedang memilih-milih pemimpin mana yang bisa menjadi representasi
dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar