Rabu, 20 Februari 2019

LOGIKA : Tan Malaka, Rocky dan Kita




Logika merupakan aspek penting sebagai sebuah penghubung untuk menyeberangi berbagai perbedaan pemikiran pada segala aspek kehidupan. Logika juga penting sebagai self-control terhadap banyaknya kontradiksi yang terjadi dalam bermasyarakat dan bernegara, terutama di Indonesia yang mulai terkikis kerasionalannya. Dalam hal ini penulis mengambil pendapat Hegel, yah walaupun ia terkenal dengan “Dialektika”nya, namun yang menarik dari pemikirannya adalah, Hegel pernah mengatakan bahwa logika bukanlah sesuatu yang terpisah dari metafisik, tetapi sebuah metafisika. 

Disini Hegel memberikan alasannya, yaitu Yang Absolut itu pikiran Absolut, maka ilmu tentang berpikir haruslah ilmu tentang realitas atau Yang Absolut. Logika Hegel berusaha mempelajari kategori-kategori ini dalam arti menjelaskan hakikat-hakikat pikiran Absolut atau realitas yang terwujud dalam alam dan sejarah, sehingga lahirlah yang ia sebut dengan tesis, anti-tesis dan sistesis.

Pada tahun-tahun politik yang "kacau" seperti ini, tidak pernah sedikitpun kita diberi jeda atas pemberitaan-pemberitaan politik, hoaks-hoaks sampah dan berbagai gimmick dalam masa pemilihan presiden dan wakilnya. Hal ini mengakibatkan banyak orang mulai malas dan menjadi skeptisbahkan cenderung tidak peduli terhadap apa yang mereka terima belakangan ini.  Yah beginilah keadaannya (ealah lemes amat).

Terlalu banyak konflik dan drama dalam sebuah "proses" terpilihnya seorang presiden Indonesia. Kedua kubu seolah lupa substansi kampanye mereka apa dan terlalu sibuk saling menjatuhkan lawan. Di sinilah peran logika dibutuhkan untuk memilih yang katanya putra-putra terbaik bangsa.

Namun seburuk-buruknya masa pemilu, akan selalu ada sebuah oase di mana terdapat sesuatu untuk kita ambil dan pelajari. Apa itu? Logika. 

Ye, dalam pemilu tahun ini, logika kita dituntut untuk bekerja keras dan mau tak mau harus kita lakukan. Carut-marut kedua kubu, baik petahana maupun oposisi, sama buruknya sama baiknya. Sama-sama senang mengangkat isu yang seharusnya tidak diangkat, sama-sama reaktif bahkan pada hal yang sangat tidak perlu untuk diributkan. Media sosial juga menjadi rame akan postingan-postingan saling serang, saling duga praduga, sampai pulpen dan Kacamata jadi bahan (duh, kasian tuh pulpen dan kacamata).

Kedua kubu tersesat, kedua kubu hilang arah, dan tidak menunjukkan apa visi dan misi mereka. Apakah visi-misi mereka hanya sebatas menang pemilu dan mengalahkan lawan politik? Entahlah.

Dalam keadaan darurat logika seperti ini, muncul seorang tokoh bak seperti juru selamat yang menghadirkan pemikiran-pemikiran "gila" tapi masuk akal (duh gimana tuh) dalam mengkritisi masa politik kali ini. Ya, Rocky Gerung sang juru selamat logika orang-orang yang masih mau memakainya. 

Terlepas dirinya yang selalu memberikan pernyataan pedas untuk pemerintah, terlepas banyak kontroversi yang membuat dirinya dibenci, Rocky Gerung adalah seorang jenius dalam hal berlogika.
Bagaimana bisa seorang yang tidak memiliki ijazah mengajar seseorang untuk gelar doktornya? Bagaimana bisa seorang yang tidak memiliki ijazah bisa mempermalukan banyak politisi yang punya seabreg gelar di belakang namanya? Penulis-pun mulai nge-fans :-D .

Jelas bisa, karana logikanya di atas lawan bicaranya. Bahkan secara pribadi saya melihat sosok Tan Malaka dalam diri Rocky Gerung. Tan, dan juga Rocky, adalah logika. Seorang jenius yang terasing, arogan, namun dibutuhkan bangsa sebesar Indonesia. Mereka berdua bagai cambuk dan kontrol bagi alur politik negara ini.
Beda Tan dan Rocky hanya ada pada sebuah masa. Andai saja Tan bisa hidup kembali, bukan tidak mungkin ia menemukan teman diskusi paling tepat untuk membahas negara ini sampai habis napas mereka. 

Tan merupakan seorang yang menjadikan logika sebagai sebuah jembatan. Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sebisa mungkin menghindari prinsip kontradiksi di mana A adalah A dan tidak sama dengan yang bukan A. 

Pemikiran-pemikiran Tan sulit diterima orang-orang yang menutup pikirannya dan tidak mau keluar dari apa yang menjadi sesuatu dalam otaknya. Tan tidak cocok untuk orang-orang yang tidak open minded.

"Kepada mereka yang sudi menerimanya, mereka yang minimum sudah mendapatkan latihan otak, berhati lapang, dan seksama serta akhirnya berkemauan keras untuk memahaminya." Begitulah apa yang Tan "pesankan" kepada pembaca Madilog miliknya.

Begitu pun seorang Rocky Gerung. Tidak akan bisa diterima oleh awam yang tak mau menerima logikanya yang liar dan gila. Apakah banyak orang yang menghujatnya benar-benar paham pada apa yang dimaksudkan Rocky? 
Penulis tidak yakin para penghujat paham. Mereka hanya kaget dan terancam oleh pemikiran seliar logika Rocky Gerung yang meskipun tak mutlak, tapi banyak benarnya, dan ternyata apa yang mereka yakini selama ini dibabat habis dalam satu waktu oleh Rocky sehingga terjadi defence di sana dengan bentuk hujatan dan hinaan terhadap Rocky. Tapi Rocky Gerung tak bergeming.

Rocky memang bukan Tan, begitu pula sebaliknya. Namun logika-logika jenius mereka yang kontroversial selalu mengundang decak kagum bagi yang memahaminya. 

Bagaimana bisa Rocky mengeluarkan statement bahwa kitab suci adalah fiksi? Bagi banyak orang yang malas memahami dan bersumbu pendek, ini jelas pemikiran keliru dan salah. Namun bagi orang-orang yang haus ilmu, pernyataan Rocky ada benarnya. 

Kitab suci itu memang fiksional, yaitu mengaktifkan imajinasi kita untuk membayangkan dan menjalankan sesuatu yang tertuang dalam kitab suci. Kita dituntut untuk membayangkan bagaimana keadaan surga dan neraka yang bahkan kita belum pernah ke sana. 
Lalu salahnya di mana? Tidak ada yang salah bila kita memahaminya. Fiksi jelas bersifat baik. Fiktiflah yang bersifat kurang baik. 
Orang-orang yang menghujat pernyataan ini, mereka berada dalam dimensi berpikir fiksi dan fiktif itu sama. Akibatnya, mereka sulit menerima premis tersebut.

Lalu, Rocky juga berujar bahwa ijazah merupakan tanda pernah sekolah, bukan tanda pernah berpikir. Pro-kontra jelas muncul setelahnya. 

Namun coba pahami lagi, bagaimana pernyataan ini banyak benarnya. Kita sekolah hanya mengejar nilai di ijazah, bukan untuk memahami substansi ilmu yang kita pelajari saat itu. Benar atau benar? Meski tak semua orang demikian, namun sangat banyak yang tujuan akhir sekolahnya hanya ijazah, bukan ilmu.

Pada masanya Tan Juga memiliki situasi yang sama, mengkritik bangsanya sendiri pada zaman proklamasi kemerdekaan, karena masih dibelenggu oleh “logika mistika.” Logika mistika merupakan cara pikir atau tingkah laku yang meyakini bahwa alam semesta dan segala isinya berada di bawah pengaruh, kekuasaan, determinasi dari kekuatan-kekuatan gaib, misalkan : letusan gunung disebabkan karena Dewa Marah dll. Sehingga Madilog merupakan Masterpiece yang melampaui zaman dan masih relevan sampai saat ini.

Logika-logika Rocky yang keras, lugas, dan on point, sebenarnya membuat kita sangatlah terbantu untuk menghadapi kehidupan masa kini. Kita tak perlu bertele-tele dalam berpikir, kita menjadi kritis dan bukan hanya sebagai "yes man" dalam berbangsa dan bernegara. 

Bagaimanapun, terlepas dari dia yang seorang pengkritik tajam pemerintahan, Indonesia butuh orang-orang yang kritis dan mengedepankan logika yang tidak asal-asalan seperti Rocky Gerung, juga Tan Malaka. Badai kekalutan bangsa ini terlampau parah. Masyarakat mulai kehilangan arah dan kehilangan akal sehat. 
Karya-karya Tan, dan sosok Rocky Gerung sekarang inilah jembatan untuk meluruskan kembali keadaan logika kita. Berpikir adalah proses sekaligus hasil, So, apa yang kamu takutkan dari sebuah logika?

Selamat menikmati kopi.

Heuheu.

*Oleh : Apriadi

(Orang Biasa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar